
Jakarta – Kasus sengketa lahan di negeri ini seakan tidak ada habisnya; terbaru ada berita penggusuran kepemilikan rumah yang sudah mempunyai Sertifikat Hak Milik (SHM) di kluster Setia Mekar Tambun. Warga kluster harus menerima eksekusi putusan PN Bekasi bernomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tertanggal 25 Maret 1997. Padahal para warga kluster mengaku mendapatkan tanah tersebut sudah melalui prosedur yang benar seperti jual-beli di hadapan Notaris/PPAT dan melakukan pengecekan sertifikat ke Badan Pertanahan (BPN) sebelum peralihan hak dilakukan.
Memang secara hukum sertifikat tanah dimungkinkan untuk dicabut/dibatalkan, namun bukankah seseorang itu merasa yakin membeli tanah jika sudah ada sertifikatnya? Bukankah upaya seseorang untuk membeli tanah itu menghabiskan banyak biaya –biaya Akta Jual Beli (AJB) dan pajak-pajak yang sekiranya harus dibayarkan. Jika kemudian dapat dibatalkan, apakah ada pertanggungjawaban dari negara?
Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997). Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 disebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 sertifikat sebagai alat bukti yang kuat dimaknai selama selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya maka sertifikat tersebut harus diterima sebagai data yang benar. Artinya sertifikat tanah dapat dimintakan pembatalan, dengan kata lain Indonesia menganut paham sistem publikasi negatif.
Kekuatan Alat Bukti Sertifikat
Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Boedi Harsono menyatakan sistem publikasi yang dianut suatu negara berkenaan dengan sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yang disajikan dan sejauh mana hukum dapat melindungi kepentingan orang-orang yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah (Harsono, 2013)
Secara garis besar ada dua) sistem publikasi yang dikenal, yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Dalam sistem publikasi positif setiap orang yang sudah mempunyai sertifikat maka kepemilikan tersebut tidak dapat dibatalkan oleh pihak lain. Prinsip ini dikenal dengan istilah Indefeasibility of Title (hak yang tidak dapat diganggu gugat), sertifikat berfungsi sebagai alat bukti mutlak.
Pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat menggugat kepada pemilik sertifikat namun dapat menuntut ganti kerugian kepada negara jika benar dirugikan atas penerbitan sertifikat tersebut. Inilah win-win solution, satu sisi pemilik sertifikat mendapatkan jaminan kepastian hukum namun di sisi yang lain pihak yang merasa mempunyai hak mendapatkan kompensasi dari negara.
Sayangnya, Indonesia tidak berani menerapkan sistem publikasi positif. PP 24/1997 secara eksplisit menyebutkan sistem yang digunakan adalah sistem publikasi negatif (Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997). Artinya negara tidak menjamin kebenaran data yang tercantum dalam sertifikat. Inilah yang menjadi salah satu faktor banyaknya sengketa tanah di Indonesia. Padahal orang-orang yang berupaya mempunyai sertifikat tanah perlu mengorbankan biaya yang tidak sedikit.
Dalam suatu peralihan hak jual-beli misalnya orang harus mengeluarkan biaya untuk AJB, dan biaya pajak-pajak (PNBP, BPHTB, Pph). Dengan biaya yang sudah dikeluarkan untuk mengurus peralihan hak tersebut tentu menjadi tidak fair jika sertifikat dibatalkan tanpa kompensasi apapun. Perlu dicatat salah satu indikator tercapainya Sustainable Development Goal (SDGs) ialah Significantly reduce all forms of violence and related death rates everywhere (Goal 16 Targets). Artinya mengurangi terjadinya konflik yang disebabkan oleh sengketa tanah dapat digunakan untuk mencapai target dari salah satu poin SDGs.
Beberapa waktu yang lalu juga Indonesia dihebohkan dengan kabar beberapa perusahaan multinasional yang enggan untuk berinvestasi di Indonesia, bisa jadi salah satu sebabnya adalah kepastian hukum atas tanah yang belum dijamin oleh negara. Oleh sebab itu, Indonesia perlu segera menerapkan sistem yang menjamin kepastian hukum bagi pemilik tanah yang beritikad baik mempunyai tanah dan bagi pihak yang dirugikan juga ada ganti rugi dari negara.
Kasus pembatalan sertifikat seperti yang terjadi di kluster Setia Mekar agar jangan terus-terusan terjadi. Jika terus terjadi maka lama-lama masyarakat akan berpikir apa gunanya susah-susah mengurus sertifikat jika toh nyatanya negara tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
Muhammad Farid Alwajdi dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan