Buya Hamka dan Kritiknya terhadap Cerita Keramat Wali

Buya Hamka, salah satu tokoh ulama besar Indonesia, menyampaikan pandangannya yang kritis terhadap cerita-cerita keramat yang sering dikaitkan dengan para wali. Dalam bukunya Pelajaran Agama Islam, Hamka mempertanyakan kebenaran cerita-cerita tersebut yang dianggap mendekati mukjizat, tetapi berbeda dari mukjizat para nabi yang diakui dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Perbedaan Mukjizat Nabi dan Keramat Wali
Hamka menjelaskan bahwa mukjizat para nabi memiliki saksi dari masyarakat luas dan diabadikan dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, cerita-cerita keramat wali sering kali tidak memiliki dasar kuat dan lebih banyak bersumber dari dongeng yang berkembang di masyarakat. Menurut Hamka, beberapa pengikut tasawuf menyisipkan kisah-kisah keramat tersebut dalam ajaran mereka hingga dianggap sebagai bagian dari kepercayaan agama.
Kisah Keramat yang Meragukan
Hamka memberikan contoh cerita keramat yang tersebar di berbagai daerah. Salah satu kisahnya adalah tentang seorang wali dari Jawa yang disebut-sebut selalu salat Jumat di Masjidil Haram, meskipun ia tinggal di Jawa. Kisah serupa juga ada di Makassar tentang Syekh Yusuf, di Aceh tentang Syekh Abdur Rauf, dan di Minangkabau tentang Syekh Burhanuddin. Di setiap cerita, wali tersebut menunjukkan “keramatnya” dengan mengeluarkan buah-buahan khas Indonesia, seperti durian atau rambutan, langsung dari jubahnya di hadapan orang banyak di Mekah.
Hamka menyebut bahwa cerita semacam ini cenderung tidak dapat dipercaya karena tidak sesuai dengan prinsip keilmuan dalam Islam.
Islam Mengajarkan Kritis terhadap Kabar
Salah satu alasan Hamka meragukan cerita-cerita tersebut adalah karena Islam memiliki ilmu hadis yang sangat ketat dalam menilai kebenaran sebuah berita. Dalam ilmu hadis, setiap periwayat harus diuji kejujurannya, dan isi hadis harus selaras dengan Al-Qur’an serta akal sehat. Jika sebuah hadis tidak memenuhi syarat tersebut, maka hadis tersebut tidak diterima.
Hamka memberikan contoh sebuah hadis yang menyebut adanya ayam jantan besar yang hidup di antara bumi dan langit dan berkokok setiap pagi, lalu diikuti oleh ayam-ayam di seluruh dunia. Menurut Hamka, tidak salah bila kita meragukan kebenaran hadis seperti itu.
Akal Sehat dan Kritik terhadap Taklid Buta
Hamka juga mengingatkan agar umat Islam tidak menerima cerita keramat secara buta. Jika masuk akal bahwa seorang wali bisa terbang di udara tanpa sayap, maka tidak mustahil cerita tersebut hanyalah hasil imajinasi atau bahkan tipuan dari pengikut-pengikut fanatik untuk mengagungkan gurunya.
Bahkan, beberapa ulama besar menolak keberadaan keramat, seperti Imam Abu Ishak al-Asfahani dan para ulama Muktazilah, kecuali satu tokoh bernama Abul Husain al-Bashri.
Pesan Hamka: Jangan Terjebak dalam Khayalan
Hamka menutup nasihatnya dengan mengingatkan bahwa umat Islam pada masa kemunduran sering terjebak dalam cerita-cerita khayalan. Sementara itu, dunia Barat justru maju karena mengandalkan akal sehat dan hukum sebab-akibat. Mereka berhasil menciptakan pesawat terbang, kapal selam, dan bahkan menjelajahi luar angkasa berkat penerapan ilmu pengetahuan.
“Ingatlah,” kata Hamka, “ketika umat Islam sibuk dengan dongeng tentang permadani terbang dan wali yang memimpin salat Jumat di dasar sungai, dunia Barat telah berhasil terbang di udara, mengarungi samudra, dan menjelajah bulan menggunakan ilmu pengetahuan.”